Senin, 06 Februari 2012

Aku Bangga Menjadi Praja IPDN

Awal cerita, tidak pernah rasanya aku terpikir dalam benakku menjadi seorang peserta didik di kampus yang terkenal dengan kasus pembunuhannya ini. Bahkan, kata IPDN tidak akan pernah terangkum dalam memori kepalaku kalau SCTV dulunya tidak memberitakan kejadian tragis dengan tindakan-tindakan di luar kemanusiaan.
Jujur, aku dulu berharap bisa menjadi seorang tenaga pengajar, mengikuti kakekku yg ada di Samarinda yang seorang dosen. Yah, kalau memang tidak, aku bisa menjadi seseorang atau apalah namanya, yang penting aku ingin menjadi apa yang aku inginkan.
Terasa sedikit janggal ketika bapak arahkan aku masuk kesana, ke sekolah yang pernah mendapat predikat sebagai kampus termegah se Asia Tenggara itu untuk mengenyam pendidikan asrama. Aku pikir, bapak mencari jalan aman bagi aku untuk mendapatkan pekerjaan pada waktu itu, pekerjaan diidentikkan dengan “menjadi pegawai negeri”. Ternyata tidak, bapak dan ibu punya rencana jangka panjang bagi aku. Kehidupan asrama dengan segala bumbu-bumbunya menjadikan penabur arti hidup dalam pribadi aku yang bernama Yudha Salisthia ini.
Ah. Dalam hati kecilku, apalah arti IPDN. Tapi ternyata, 6 bulan lebih saya di dalam, bergerilya, bertahan, teramat banyak nilai yang bisa aku dapatkan. Sangat berbanding terbalik dengan perkiraanku.
Bersama... Keluarga keduaku ya diIPDN ini. Kalau ada pertanyaan siapa yang membopongku ketika aku sakit, aku pastikan rekan-rekanku yang dari Papua (Sorong) Danu, Kep. Riau (Natuna) Trendy, Sumut (Langkat) Khadafi selalu ada. Kalau ada pertanyaan lagi siapa yang bisa mendengarkan cerita kehidupanku, aku janjikan pasti puluhan orang siap menyiapkan pundaknya untuk bersandar. Kalau ada kekuranga dana, ah, apalah artinya uang dalam sini, yang penting bisa sama-sama. Ya, kebersamaan menjadi aktif karena kita hidup bersama, 24 jam dalam sehari. Pernah suatu kesempatan ada final pertandingan sepakbola Indonesia vs Malaysia, dalam satu ruangan berukuran 4×6 meter, kami berdesak untuk menyaksikan. Ya, pada saat itu televisi disediakan cuma satu alhasil semua berjejal. Sekitar 90 orang dari pelosok negeri ini dari aceh, riau, kediri, bandung, balikpapan, makassar, bima, ambon dan jayapura ikut terlibat dalam menonton bola ini. Riuh ricuh, dari setiap daerah menjadikan ruangan 4 x 6 meter itu menjadi indonesia.haha.
Saudara. Kalau mungkin waktu bisa ditambah lebih dari 24 jam, maka kami semua, aku dan rekan-rekan sesama praja siap menjalaninya. Selama kami belum keluar kampus, ya 24 jam kami terima dengan segala keterbatasannya. Tidak salah ketika aku mengenal temanku dari ujung rambut hingga ujung jari kakinya, dari isi kepalanya hingga isi hatinya, dari sikap emosionalnya hingga sikap penyabarnya. Semua tergabung otomatis menjadi kata saudara. Hargai kekurangan orang lain maka orang lain akan menghargai kekuranganmu. Hargai kelebihan yang dimilikinya, maka dia akan jauh lebih segan dengan kelebihan yang kau miliki. Itulah yang menjadi dasar, prinsip kami dalam hidup bermasyarakatan disini. Perbedaan itu hal yang biasa, yang luar biasa adalah mengkonversi perbedaan itu menjadi indah.
Ketenangan. Segala aturan yang ada di kampus menjadikan aku sadar, aku juga punya aturan yang harus di lakukan dalam kehidupan ini. Ya, aturan dari Tuhan. Aturan Tuhan bukanlah suatu pembatasan bagi setiap prbadi melainkan suatu warna, suatu petunjuk, suatu keindahan. Aturan Tuhan bukan untuk mempersulit kita karena Tuhan tahu apa yang menjadi kebutuhan kita. Keteraturan yang ada membuatku sadar kalau aku harus mengatur diri ke depannya, jauh lebih baik. Aku harus memasukkan rencana Tuhan ini dalam setiap langkahku. Karena, yang menentukan benar atau salah tingkah laku saya adalah Tuhan, Allah SWT.
Sebentar lagi tahun kedua saya. Harus aku akui, IPDN membawa warna tersendiri bagi diriku. Penanaman, pertumbuhan, perkembangan, pendewasaan.
BHINNEKA NARA EKA BHAKTI.
(berbagai macam asal, satu pengabdian)